D IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bengkulu

D IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bengkulu

Sabtu, 17 Januari 2015

Resusitasi Jantung Paru Pada Orang Dewasa


KDK II
(Resusitasi Jantung Paru Pada Orang Dewasa)

Description: D:\midwifery.png

DISUSUN OLEH :
1.FARIDA
2.GITA HARDIANTI                     
3.IKE LESTARI GULTOM
4.MONICA MELIYANI PUTRI                
5.YENNY IMELVA
6.YOANANDA PUTRI ANDHINI
       KELAS : D IV KEBIDANAN 0 TAHUN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
JURUSAN KEBIDANAN
T.A 2013/2014
KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis panjatkan  kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah KDK II. Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.

                                                                                                            Bengkulu,   Mei 2014


                                                                                                                          Penulis




















A.    Pengertian Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP),j atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.

Mati Klinik                   RJP                  Mati Biologik
( Reversibel )           4-6 menit           ( Ireversibel )

Keterangan:
1. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel, penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak.
2. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil).
Catatan:
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak tidak perlu dilakukan RJP.




B.     Indikasi Melakukan RJP

1.  Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang dikenal sebagai henti nafas.
2.  Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas, maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).

C.    Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)

1.      Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )    
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
2.      Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil bantuan.
3.      Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long board).  Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”
4.      Posisi Penolong
         Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban   .
5.      Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik.
1.            Tidak terlihat gerakan otot napas
2.            Tidak ada aliran udara via hidung
Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban bernapas, korban tidak memerlukan RJP.
6.      Pemeriksaan Sirkulasi
1.     Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis
2.     Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
3.     Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
4.     Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak ada pulsasi, dilakukan RJP.

D.    Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1.      Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis, HIV) karena itu harus memakai ”barrier device”  (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.
a.     Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.
b.     Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong itu masuk ke dalam paru-paru korban.
c..     Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi semula.
                         Description: http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRGfb5XX5JW68vbf0_FeWHOKN32hkPHlBSQrQlvPLJy_LMMjMErdg
            Bahaya bagi penolong yang melakukan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut:
- Penyebaran penyakit
- Kontaminasi bahan kimia
- Muntahan penderita
2.      Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur Krikotiroidektomi tadi.
3.      Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face mask.
4.      Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Description: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSA7jgdQzDescoY1cv01MijtDGjDKd17dx9SJqiFOONDuNKDeN7
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu petugas sedangkan petugas yang lain memompa.
5.      Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.

E.     Henti Jantung

RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
            Lokasi titik tumpu kompresi.
1.      1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2.      Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk mengikuti
3.      Tempatkan  tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
4.      Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat jantung
5.      Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban

F.     Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)

1.      Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum
2.      Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
a.       Tekanan tidak terlalu kuat
b.      Tidak menyentak
c.       Tidak bergeser / berubah tempat
3.      Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )
4.      Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)
5.      Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)
6.      Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

G.    Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa
Resusitasi Jantung Pada Bayi dan Anak
Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
1.      Saluran Pernapasan (Airway =A)
Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan kepala bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga dongakan yang kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.
2.      Pernapasan (Breathing = B)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya. Tutupi mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan (1 hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk membuat dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi mulutnya, dan berikan hembusan seperti pada bayi.
3.      Peredaran Darah (Circulation = C)
Pemeriksaan Denyut:
Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan bahu. Pemeriksaan denyut pada anak keeiL sarna dengan orang dewasa.
1.      Resusitasi jantung paru pada bayi (  < 1 tahun)
a.       2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b.      Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae
c.       Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d.      Rasio pijat : napas 15 : 2
e.       Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
2.      Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun)
a.       Satu telapak tangan
b.      Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus
c.       Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d.      Rasio pijat : napas 30 : 2
e.       Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

H.    Bantuan Hidup Dasar
Jika pada suatu keadaan ditemukan korban dengan penilaian dini terdapat gangguan tersumbatnya jalan nafas, tidak ditemukan adanya nafas dan atau tidak ada nadi, maka penolong harus segera melakukan tindakan yang dinamakan dengan istilah BANTUAN HIDUP DASAR (BHD).
Bantuan hidup dasar terdiri dari beberapa cara sederhana yang dapat membantu mempertahankan hidup seseorang untuk sementara. Beberapa cara sederhana tersebut adalah bagaimana menguasai dan membebaskan jalan nafas, bagaimana memberikan bantuan penafasan dan bagaimana membantu mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh korban, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah matinya sel otak.
            Untuk memudahkan pelaksanaannya maka digunakan akronim A- B - C yang berlaku universal.
    A = Airway control atau penguasaan jalan nafas
    B = Breathing Support atau bantuan pernafasan
    C = Circulatory Support atau bantuan sirkulasi lebih dikenal dengan Pijatan Jantung Luar dan menghentikan perdarahan besar
            Setiap tahap ABC pada RJP diawali dengan fase penilaian : penilaian respons, pernafasan dan nadi.
  • Penilaian respons.
Setelah memastikan keadaan aman (penilaian korban bag. 1), maka penolong yang tiba ditempat kejadian harus segera melakukan penilaian dini (penilaian korban bag. 2). Lakukan penilaian respons dengan cara menepuk bahu korban dan tanyakan dengan suara lantang.
  • Aktifkan sistem SPGDT
Di beberapa daerah yang Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadunya sudah berjalan dengan baik, penolong dapat meminta bantuan dengan nomor akses yang ada. Bila penolong adalah tim dari sistem SPGDT maka tidak perlu mengaktifkan sistem tersebut. Prinsipnya adalah saat menentukan korban tidak respons maka ini harus dilaporkan untuk memperoleh bantuan.

Bantuan hidup dasar terdiri dari beberapa cara sederhana, yaitu:
            Secara umum dapat dikatakan bahwa bila jantung berhenti berdenyut maka pernafasan akan langsung mengikutinya, namun keadaan ini tidak berlaku sebaliknya. Seseorang mungkin hanya mengalami kegagalan pernafasan dengan jantung masih berdenyut, akan tetapi dalam waktu singkat akan diikuti henti jantung karena kekurangan oksigen.

1.      Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah,
  • Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
  • Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
  • Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
  • Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)
2.      Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
  • gerakan dada waktu membesar dan mengecil
  • merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
  • dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
  • Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. (5)
3.      Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
  • Afiksi dan hipoksi
  • Serangan jantung
  • Syok listrik
  • Obat-obatan
  • Reaksi sensitifitas
  • Kateterasi jantung
  • Anestesi. (5)
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :
  • Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
  • Korban tidak sadar
  • Korban tampak seperti mati
  • Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.

Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : (5)
  1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
  2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
  3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan. ( 5, 7)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,
  1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
  2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
  3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
  4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
  5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
  1. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil,
  1. Korban menjadi sadar kembali
  2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
  3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal sini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4)

I.       Bantuan Hidup Lanjut
1.      Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,
a. Penting, yaitu :
·        Adrenalin
·        Natrium bikarbonat
·        Sulfat Atropin
·        Lidokain
b. Berguna, yaitu :
·        Isoproterenol
·        Propanolol
·        Kortikosteroid. (5)
·        Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
2.      Adrenalin
Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
3.      Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
4.      Sulfat Artopin
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
5.      Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
6.      Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
7.      Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.